Wednesday 7 January 2009

Tahlilan dan Yasinan Sesuai Syariat Islam dan Budaya Bangsa


Tahlilan dan Yasinan Sesuai Syariat Islam dan Budaya Bangsa

Majlis Tahlil adalah suatu perkumpulan yang dibentuk oleh sejumlah ummat Islam guna munajat kepada Allah dengan berdzikir, tahlil dan do,a bersama. Yasinan adalah nama lain dari majlis dzikir, yaitu suatu kumpulan yang dibentuk oleh sejumlah orang Islam yang diberinama Majlis Yasin. Guna munajat kepada Allah dengan dzikir berasama.
Islam diturunkan oleh Allah SWT di muka bumi ini, bukan untuk merusak budaya tapi meluruskan budaya. Menurut penulis, tidak ada satu pun acara tahlilan/yasinan yang bertentangan dengan syariat Islam, bahkan di acara tersebut mengandung kewajiban ataupun sunah yang dalam Al-Quran maupun sunah-sunah Rosul Muhammad SAW.
  1. Menyambung silaturrahmi : Islam menganjurkan menyambung silaturrahmi, karena dapat mempererat hubungan keluarga atau hubuangan antar umat manusia (islam). Hal ini sesuai dengan adab orang Indonesia yang selalu menjunjung tinggi rasa persodaraan antar sesama.
  2. Menjamu tamu undangan dengan makanan. Hal ini bertujuan untuk memulyakan tamu undangan,dalam Islam kita di anjurkan untuk selalu memulyakan tamu yang datang. Makanan yang kita hidangkan akan menjadi sedekah dan menjadi energi bagi yang memakannya sehingga kita akan mendapatkan royalti dari ibadah tamu undangan karena energi/tenaga tersebut dari makan yang kita hidangkan.
  3. Mendoakan saudara seiman :
    وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلإخَْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإَْيْمَانِ......

    Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

    ٍAyat ini menunjunkkan bahwa doa generasi berikut bisa sampai kepada generasi pendahulunya yang telah meninggal. Begitu juga keterangan dalam kitab “At-Tawassul” karangan As-Syaikh Albani menyatakan: “Bertawassul yang diizinkan dalam syara’ adalah tawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan soleh dan tawassul dengan doa orang shaleh.”

Dari Abu Hurairah RA, " Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Jika kamu semua menshalati mayit, maka berdoalah dengan ikhlas untuknya.
Hadist tersebut secara jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia dengan tulus dan ikhlas. ini berarti bahwa do,a yang dibaca dengan ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit. sebenarnya banyak hadist2 lain yang terkait dengan tahlil/atau yasinan.


Pada hari kiamat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan hanya 1 golongan yang selamat yaitu : Golongan ahlusunnah wal jama,ah.
Siapa itu golongan ahlusunnah wal jama,ah? mereka golongan yang berpegang pada Al-Quran, Sunah Rosul dan Sahabat Rosul.
Berdasarkan uraian diatas, kita akan paham di lingkungan kita mana golongan yang bener-benar bersandar terhadap Al-Quran, Sunah Rosul dan Sahabat Rosul.

Jangan sekali-kali malarang apa yang dibolehkan Al-Quran dan Sunah Rosul dan jangan sekali-kali membolehkan apa yang dilarang Al-Quran dan Sunah Rosul karena itu adalah berbuatan kufur. 

Semoga Bermanfaat .......

5 comments :

sandhi said...

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.


KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

REFERENSI :

 Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
 Masalah Keagamaan Jilid 1 - Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Dari Rasulullah SAW bersabda, "Dan tidaklah berkumpul suatu kaum sambil menyebut asma Allah SWT kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah SWT akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberi ketenangan hati,dan memujinya di mahluk yang ada di sisi-NYA" (Shahih Muslim,{4868})
Seorang mukmin seharusnya tidak perlu ragu terhadap kasih sayang dan kekuasaan Allah SWT. kalau hanya untuk menyampaikan pahala kepada orang yang meninggal dunia, tentu saja hal itu sangat mudah bagi Allah SWT. dan perlu diingat, bahwa Ukhuwah Islamiyyah tidak akan terputus karena kematian. Bukankah Nabi Muhammad SAW telah memberi contoh kepada umatnya untuk memberi hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia.
Asal usul istilah tujuh hari ialah mengikuti amal yang dicontohkan sahabat nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutib oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi :
Hasyim Bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata : "Al-Asyja'i meriwayatkan kepada kami dari Sufwan,ia berkata : Imam Thawus berkata "orang yang meninggal dunia diuji selama 7 hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf menyunahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu" (Al-Hawi li Al-Fatawi, Juz II, hal 178).
Dari Abdullah bin Amr RA, "ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi SAW, "perbuatan apakah yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab, : Memberi makanan dan menucapkan salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak.

Anonymous said...

mari kita guna se optimal mungkin fasilitas dari agama islam secara kafah, agar kita beruntung dunia dan akherat

Anonymous said...

Ini dalil hadist syiah ya?